KITAMUDAMEDIA, Bontang – Ada gula, ada semut. Perumpamaan ini rasanya pas untuk menggambarkan pagelaran seni reog dan jaranan atau kuda lumping yang mampu menjadi magnet bagi penonton.
Setiap pertunjukan digelar, alunan musik khas jawa yang menggelegar menarik ratusan orang untuk menyaksikan atraksi para penari dan pelakon. Lengkap dengan pedagang asongan yang bermunculan bak jamur di musim penghujan.
Tapi itu dulu, sebelum pandemi menyerang. Sekarang, pertunjukan gebyar itu, kini ambyar. Hampir dua tahun, tak ada lagi pesta rakyat.
Topeng singa barong, jaranan anyaman bambu dan sederat alat musik pendukung, akhirnya usang karena debu.
Di ruang gelap berukuran sekira 4×6 meter persegi milik Paguyuban Jawa Timur, Seni Reog Ponorogo Singo Budoyo Bontang, perlengkapan manggung itu berjajar tak beraturan. Alat – alat tersebut, terpaksa sesekali harus dilap dan dijemur, agar tetap bagus. Terlebih topeng singa barong yang terbuat dari bulu burung merak. Rentan rusak dan harganya cukup mahal.
Pandemi Covid-19 benar – benar melumpuhkan komunitas seni tradisional. Syafri, salah seorang pelakon yang juga pengurus Singo Budoyo Bontang, menceritakan kegundahannya. Jangankan pentas, berlatih saja tidak bisa, karena setiap musik dibunyikan, otomatis penonton berdatangan.
“Latihan aja loh nggak bisa mbak, karena kan pasti musiknya kedengaran, orang – orang sekitar datang buat nonton, jadi ramai. Dulu pernah sekali, kami coba latihan, karena kelihatan ramai, langsung kami didatangi petugas, ” keluhnya.
Syafri mengaku sejak awal tahun 2020 sudah tidak ada yang nanggap (permintaan tampil) bahkan pesta demokrasi yang biasanya jadi moment meraup rezeki, lewat begitu saja.
” Biasanya kan ada yang sunat, nikahan, atau pas Pilkada itu ramai yang nanggap, sekarang kan nggak boleh, ” jelasnya.
Sebelum pandemi, Reog Ponorogo Singo Budoyo bisa tampil lebih dari 10 kali dalam setahun, terutama di bulan – bulan baik untuk menggelar hajatan, menurut kepercayaan masyarakat Jawa.
“ Sebelum ada Corona, setahun itu bisa lebih dari 10 kali tampil. Biasa ramai itu sebelum dan setelah Idul Adha, karena bulan baik menurut hitungan Jawa, ” kenangnya, sembari tersenyum miris.
Soal harga, tidak dipatok, sekali tampil kisaran Rp 4 – 5 juta, atau sesuai budget konsumen. Hasilnya akan dibagi untuk 40 personel, termasuk pemain dan penari.
” Sebenarnya kalau harga bisa menyesuaikan aja, misalnya ada yang mau nanggap tapi cuma punya budget sekian, ya bisa aja, karena kami ini pecinta seni, bukan semata mata komersial. Itu juga hasilnya dibagi bagi untuk 40 sampai 50 orang personel, ” tambahnya.
Meski begitu, Syafri yakin seni tak lekang oleh waktu. Ia berharap pandemi segera pergi, sehingga pagelaran seni bisa kembali unjuk gigi. (Redaksi KMM)
Editor : Kartika Anwar