Awesome Logo
Tersedia ruang iklan, informasi hubungi 08125593271                    Segenap Pimpinan dan Redaksi Kita Muda Media Mengucapkan Marhaban ya... Ramadhan 1442 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin                    Patuhi Protokol Kesehatan dan Jaga Imunitas                    Follow Medsos KITAMUDAMEDIA FB : kitamudamedia, Fan Page FB : kitamudamedia.redaksi, IG : kitamudamedia.redaksi, Youtube : kitamudamedia official                                   Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1442 H                         

Timbunan Sampah Disebut Sudah Setinggi Bangunan 16 Lantai, Ini Sejarah TPST Bantargebang

KITAMUDAMEDIA – Kondisi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang semakin mengkhawatirkan. 

Timbunan sampah di Bantargebang semakin hari semakin menggunung. Bahkan timbunan itu disebut sudah setara dengan tinggi bangunan 16 lantai. 

“Tinggi sampah Bantargebang sudah setara dengan Gedung 16 lantai,” tulis akun ini dalam tangkapan layar video yang disematkannya. 

Dua tahun sebelumnya, yakni 2021, Pemerintahan Provinsi (Penprov) DKI Jakarta sempat menyebutkan bahwa ketinggian TPST Bantargebang sudah mencapai batas maksimal. 

“Timbunan ini akan menimbulkan banyak masalah, termasuk lahan yang sudah semakin berkurang. Sedangkan di sisi lain belum tersedianya alternatif TPA bagi sampah Jakarta,” kata Pemprov DKI, dikutip dari laman Instagram @dkijakarta.

Baru-baru ini, penanganan sampah sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo, salah satunya penanganan sampah di DKI Jakarta.

Sebelum ditetapkan sebagai TPST, Bantargebang lebih dulu dikenal sebagai TPA Bantargebang. Dilansir dari Studi berjudul Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) sebagai Sumber Ekonomi Masyarakat Perantau di Kelurahan Ciketingudik Bantargebang dalam Esai Foto, Susiani Saragih (2020), kawasan Bantargebang mulanya merupakan tanah galian dan persawahan. Sebelum menjadi TPA, Bantargebang dipenuhi dengan aliran Kali Ciketingudik yang terhubung dengan Kali Asep.

Bantargebang memiliki lahan seluas 108 hektar yang dimanfaatkan oleh Pemerintahan Bekasi dan Pemerintahan DKI Jakarta untuk membuang sampah. Menurut catatan Kompascom (2019), Alin Anwar dalam bukunya berjudul Konflik Sampah Kota menyebutkan bahwa Bantargebang mulai menjadi TPA karena pesatnya pertumbuhan penduduk dan perdagangan di Jakarta yang berakibat pada penumpukan volume sampah di Ibu Kota.

Hingga pada pertengahan 1980-an, volume sampah di Jakarta sudah mencapai 12.000 meter kubik per hari. Alhasil, Pemprov DKI memutar otak dan menganggap perlu memiliki lokasi pembuangan akhir.

Dipilih menjadi lokasi TPA Mulanya, Pemprov DKI memilih lokasi pembuangan akhir di Ujung Menteng, Jakarta Timur. Namun, kawasan tersebut dianggap tidak strategis karena sudah dipadati oleh perumahan dan industri.

Selanjutnya, pilihan jatuh ke wilayah di luar Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, DKI memilih Kota Bekasi yang saat itu masih menjadi bagian Kabupaten Bekasi sebagai lokasi pembuangan akhir. Ada dua wilayah yang menjadi lokasi pilihan untuk TPA, yakni kawasan Medan Satria dan Bantargebang. 

Mulai beroperasi pada 1986 Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek dan Pemprov Jabar secara resmi mengajukan surat ke Bupati Bekasi saat itu, Suko Martono, terkait rencana DKI untuk membebaskan lahan di dua tempat tersebut. Pengajuan ini dilakukan pada 1985. Setelah melalui berbagai kajian, akhirnya terpilihlah Bantargebang sebagai lokasi pembuangan sampah.

Hingga pada 26 Januari 1986, Gubernur Jawa Barat saat itu, Yogie SM, menyetujui izin lokasi pembebasan tanah. Pemberian izin itu menandai beroperasinya TPA yang kini menjadi TPST Bantargebang. 

Dibandingkan dengan TPST di kota lain, seperti TPST Piyungan di Yogyakarta, TPST Mulyo Agung Bersatu di Malang, dan TPST Seminyak di Bali, Bantargebang merupakan TPST yang paling luas.

Gambaran TPST Bantargebang TPST Bantargebang terletak di Kelurahan Ciketingudik, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Untuk memasuki kawasan tersebut, biasanya seluruh mobil pengangkut sampah harus berhenti di depan pintu masuk untuk melakukan penimbangan volume sampah. 

Berdasarkan dokumen yang didapat dari Roy Sihombing (2020), TPST Bantargebang memiliki 5 zona pembuangan sampah yang terdiri dari: 

Zona I memiliki luas 18,3 hektar Zona II 17,7 hektar Zona III 25,41 hektar Zona IV 11 hektar Zona V 9,5 hektar.

Sempat disorot Leonardo DiCaprio Pada 2019 lalu, kondisi TPST Bantargebang sempat menjadi sorotan publik usai aktor Holywood Leonardo DiCaprio mengunggah foto kondisi TPST yang sudah dianggap mengkhawatirkan. 

“Beberapa pria, dari Desa Cikiwul, menangkap ikan di perairan berlumpur yang sangat tercemar yang merembes dari zona pembuangan terbesar Bantar Gebang. 

TPA Banter Gebang menerima limbah sekitar 15 juta orang yang tinggal di Jakarta. 

Pemulung membutuhkan sampah untuk mencari nafkah dan masyarakat Indonesia membutuhkan pemulung untuk mendaur ulang semua bahan yang mungkin akan dibuang begitu saja,” tulis Leo dalam akun Instagramnya, @leonardodicaprio. Leo juga menyebut bahwa Indonesia merupakan negara pencemar plastik terbesar setelah China. 

“Indonesia, berada di peringkat pencemar plastik terbesar kedua di dunia setelah China, dengan laporan menunjukkan bahwa negara itu menghasilkan 187,2 juta ton sampah plastik setiap tahun yang lebih dari 1 juta ton bocor ke laut,” sambungnya.

Bantargebang tanggung jawab siapa? Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono menyatakan bahwa permasalahan sampah di Bantergebang bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta saja. 

Heru mengatakan bahwa penanganan sampah di Bantargebang juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di seluruh Indonesia. “Dan tidak hanya Jakarta aja kan, seluruh Indonesia juga harus memperhatikan masalah sampah,” ujarnya, dilansir dari Kompas.com (2/1/2023).

Editor : Redaksi KMM

Ikuti Fans Page Kami

Leave a Reply