KITAMUDAMEDIA, Bontang – Lokasi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Kadere, Bontang Lestari, Kota Bontang, Kalimantan Timur berdiri tak jauh dari permukiman warga RT Loktunggul. Berjarak sekira 30 meter dari rumah warga, PLTU yang dioperasikan PT Graha Power Kaltim (GPK) diduga menghilangkan permukiman Loktunggul di peta Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang disusun pada 2015. Pun dalam dokumen adendum yang dikeluarkan pada 2019, sebagai dasar pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Ketua RT 15 Loktunggul, Zainal Abidin, mengaku dirinya mengetahui kejanggalan itu saat pembahasan dokuman ANDAL ketika mengikuti sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PLTU Teluk Kadere di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada pertengahan 2015.
“Saya lihat dokumen ANDAL-nya waktu diajak Pak Lurah (Bontang Lestari) ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Samarinda. Saat itu peta lokasi rencana pembangunan PLTU yang ditampilkan di proyektor tidak menampilkan adanya permukiman di sana. Hal itu diperkuat dengan penjelasan GPK saat sosialisasi yang menyampaikan jika di lokasi PLTU tidak ada permukiman warga karena sudah direlokasi,” jelas Zainal saat ditemui awak media di rumahnya, Minggu (2/4/2023).
Zainal pun membantah hal itu. Lantaran di sekitar lokasi itu masih ada permukiman warga. Menurutnya, meski sudah ada yang direlokasi namun penghapusan permukiman warga di sekitar PLTU dari peta salah. Di sekitar lokasi PLTU masih ada permukiman, khususnya warga RT 15 Loktunggul.
Dihilangkannya Loktunggul dari peta diperkuat dokumen APT Energi Unggul Persada (EUP) 2019 yang tim KJI (Klub Jurnalis Investigasi) Bontang peroleh. Dua perusahaan itu sama-sama beroperasi di Bontang Lestari. Dalam setiap lampiran peta di dokumen ANDAL PT EUP, masih terlihat permukiman di Loktunggul.
Peta lokasi proyek yang termuat di dokumen ANDAL PT EUP disusun bersumber dari keputusan Wali Kota Bontang No. 503/005/DPMTKPTSP/LOKASI/VII/2017, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, Foto Satelit WV Liputan Tahun 2015, peta Rencana Tata Ruang Kota Bontang berdasarkan Perda 11/2012, dan Peta Geologi Bersistem Provinsi Kalimantan Timur skala 1:250.000. Peta lokasi proyek PT EUP tersebut digambar oleh Apri Gunawan. Kemudian diperiksa dan disetujui oleh Lian Pongoh.
Sementara berdasarkan dokumen ANDAL PLTU Teluk Kadere 2015 yang tim KJI peroleh, pada peta lokasi memang tidak tampak permukiman Loktunggul. Peta tersebut disusun oleh CV Smart Teknik Consultant yang beralamat di Samarinda. Penyusunan peta lokasi itu dibuat berdasarkan Peta Administrasi Kota Bontang 2011, Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur 2011, dan hasil survei lokasi studi PT Graha Power Kaltim (GPK).
Permukiman Loktunggul juga tidak dimunculkan pada peta lokasi yang tercantum di dokumen Adendum ANDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) yang dikeluarkan pada 2019.
Peta lokasi itu disusun berdasarkan tujuh sumber. Di antaranya, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 edisi 2010 lembar 1916-12 Bontang dan 1916-21 Bontang Kuala, Badan Informasi Geospasial. Juga merujuk pada data survei lapangan 2019, dan data citra satelit resolusi tinggi SPOT 6 perekaman 2016.
Penyusunan dokumen ANDAL PLTU berbahan bakar batu bara dilakukan tanpa menggelar sosialisasi dampak lingkungan yang melibatkan warga sekitar. Tidak ada edukasi terkait limbah yang akan dihasilkan PLTU tersebut.
Zainal memaparkan warga hanya dilibatkan saat pembahasan rencana pembebasan lahan untuk kawasan pembangunan PLTU Teluk Kadere. Soal dampak buruknya bagi lingkungan sama sekali tidak disampaikan. Bahkan dirinya yang di dalam dokumen disebut sebagai salah satu Tim Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, tidak pernah mengetahui dengan jelas bagaimana proses penyusunan. Termasuk juga kajian seperti apa yang dilakukan perusahaan hingga dokumen dibukukan.
“Warga cuma di iming–imingi dampak positifnya, dijanjikan soal tenaga kerja. Dampak negatifnya tidak disampaikan. Saat sosialisasi di Samarinda, saya tiba – tiba diminta tanda tangan. Saya bingung, di sini (dokumen ANDAL) saya terdaftar sebagai penyusun AMDAL, padahal saya tidak pernah dihadirkan saat pembuatan AMDAL ini,” ungkap Zainal.
PENCEMARAN LINGKUNGAN DAN DEBU
Warga Loktunggul sering kali protes terhadap dampak pencemaran lingkungan yang mereka rasakan, namun tak membuahkan hasil. Bahkan PT GPK tidak memberikan kompensasi dampak lingkungan pada warga sekitar. Termasuk bantuan pemeriksaan kesehatan rutin.
Lokasi stockpile (penampungan)batu bara PLTU dengan rumah warga hanya dibatasi tembok beton dengan kawat berduri di bagian atas. Tumpukan bahan bakar hitam itu menjadi pemandangan sehari–hari warga sekitar.
Minggu (02/04/2023), sekira pukul 17.00 Wita, tim KJI bertemu dengan salah satu warga, Ariani. Perempuan 48 tahun tersebut terlihat duduk di teras rumah, menatap nanar ke arah stockpile batu bara PLTU Teluk Kadere. Rumahnya hanya berjarak sekira 30 meter sehingga dengan mudah Ariani melihat tumpukan batu bara yang menjulang tinggi, melewati pagar pembatas.
Aktivitas sore Ariani tak seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya ketika jelang berbuka puasa. Ariani tak berani masak setiap sore tiba, lantaran khawatir debu batu bara bakal beterbangan dan mengkontaminasi makanan.
“Sudah masak dari subuh. Kalau masaknya sore takut debu (batu bara) masuk rumah. Belum lagi kalau angin juga kencang,” ujar Ariani saat ditemui di kediamannya.
Ia mengaku, cuaca dan jam operasional stockpile dan PLTU yang tidak pasti, membuat dirinya dan keluarga harus ekstra waspada. Jika sedikit saja lalai, makanan yang disiapkan bisa berakhir di tong sampah. Bukan di lambung mereka.
Ariani mengisahkan, tempo hari, anak bungsunya terpaksa harus membuang makanan yang ia santap. Lantaran saat ditinggal mengambil air minum di dapur, makanan yang diletakkan di teras rumah sudah dipenuhi dengan debu batu bara.
“Ya, mau gimana lagi? Enggak mungkin dimakan sudah ada debunya (batu bara), makanya dibuang,” sesalnya.
Jika cuaca cerah dan angin berhembus kencang, ditambah stockpile sedang beroperasi. Ariani terpaksa harus menutup seluruh pintu dan jendela. Lantaran debu batu bara yang berasal dari stockpile bakal beterbangan memenuhi seluruh sudut rumah.
“Soalnya kalau (debu batu bara) kena mata perih. Semua pintu harus ditutup, anak-anak dan cucu terpaksa hanya bisa main di dalam rumah,” jelasnya.
Ariani beserta sang suami, Darman, telah menempati rumah ini sejak 90-an. Ia mengaku, sebelum adanya PLTU Teluk Kadere kehidupannya bersama keluarga berjalan normal. Namun, sejak adanya PLTU, dirinya harus bekerja lebih keras dalam menjalankan berbagai aktivitas. Salah satunya, membersihkan rumah.
Dalam sehari, Ariani bisa menyapu sebanyak lima kali. Tak hanya itu, Ariani juga harus mengepel seluruh lantai. Ini dilakukan demi bisa menghilangkan debu batu bara yang menempel. Ariani mengaku risih, karena partikel hitam itu akan meninggalkan jejak kehitaman di kulit dan menimbulkan bau tak sedap jika tak cepat dibersihkan.
“Ini saja baru saya sapu, tapi masih ada (debu batu bara) lagi. Kalau enggak disapu, ya kayak pasir di dalam rumah,” keluhnya.
Tak hanya dari sisi kebersihan, keberadaan stockpile batu bara juga disebut telah mempengaruhi kesehatan Ariani dan keluarga.
Meski belum memeriksakan diri secara menyeluruh ke rumah sakit, namun wanita berjilbab ini mengaku, keluarganya kerap merasa sesak dan batuk. Utamanya, saat stockpile beroperasi disertai dengan angin kencang.
Meski telah menutup seluruh pintu dan jendela rapat-rapat, debu batu bara tetap merangsek masuk dari celah-celah rumah. Belum lagi bau busuk menyengat dari batu bara. Kondisi ini membuat keluarga Ariani harus menyalakan kipas angin, agar bisa sedikit bernafas lega. “Kadang kami bingung. Keluar penuh debu, di dalam sesak napas,” lirihnya.
Ariani mengatakan keberadaan PLTU tidak mendatangkan pengaruh baik apapun pada kehidupan keluarganya. Bahkan, jaringan listrik PLN dan air PDAM yang sebelumnya tak menjangkau rumah mereka, pada akhirnya harus mereka perjuangkan sendiri. Tanpa adanya bantuan dari PT GPK selaku pengelola PLTU Teluk Kadere.
Dia mengaku menyesal. Proyek PLTU berkapasitas 2×100 megawatt (MW) yang kerap dibanggakan oleh Pemerintah Kota Bontang, lantaran diklaim mampu menambah sumber pendapatan daerah dan menyerap tenaga kerja, nyatanya hanya mendatangkan dampak buruk bagi kehidupannya.
Perempuan berkulit sawo matang ini menyebut, seandainya tahu bahwa proyek pembangunan yang dimaksud adalah PLTU, maka dirinya bakal menolak mentah-mentah.
“Dulu cuma dikasih tahu mau ada proyek masuk. Tapi, tidak pernah dijelaskan proyek apa itu. Ternyata, batu bara,” terangnya sembari menatap tumpukan batu bara di hadapannya.
Setali tiga uang dengan sang istri, Darman, juga mengaku lelah dan capai. Dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan PLTU Teluk Kadere ini tidak hanya menguras tenaga dan pikirannya. Namun, juga turut mempengaruhi penghasilannya sebagai seorang nelayan rumput laut.
Pasalnya, limbah PLTU yang disinyalir dibuang langsung ke laut membuatnya sulit menuai rumput laut. “Sudah sampai ke mana-mana berjuang, tapi tidak ada hasilnya. Berkali-kali demo juga, tetap begitu-begitu saja,” katanya dengan nada tinggi.
Diakui Darman, jauh sebelum stockpile ini berdiri, rumah dan tanahnya pernah ditawar oleh perusahaan untuk bisa dibebaskan. Namun, dirinya menolak dan memilih untuk bertahan. Lantaran harga yang ditetapkan perusahaan dinilai terlalu kecil.
Kini, Darman hanya bisa pasrah. Mencoba berdamai dan hidup berdampingan dengan debu batu bara yang terus mengepung rumahnya. Sembari berharap, suatu hari ada relokasi yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan.
“Satu-satunya solusi ya relokasi. Tapi, tetap harus sesuai juga hitung-hitungannya. Lokasinya. Jangan sampai kami di relokasi ke tempat yang lebih buruk dari ini (Loktunggul),” tegasnya.
Sarmina, salah satu warga, menyebut debu batu bara dan bau yang menyengat tak bisa dihindari. Sementara perusahaan tidak memberikan apapun sebagai bentuk kepedulian. Bahkan kata Sarmina warga sempat demo untuk minta pertanggung jawaban GPK, namun tidak membuahkan hasil.
“Kata perusahaan nanti dikabari, tapi tidak ada respons. Sudah bertahun-tahun. Paling kalau Ramadan ada pembagian sembako,” keluhnya.
PEMBUANGAN LIMBAH
Warga menduga limbah PLTU juga menjadi penyebab kualitas air sumur milik warga yang tadinya jernih menjadi keruh. Hasnayani, warga RT 14 Loktunggul mengaku sumur miliknya yang dulunya bisa dikonsumsi sehari-hari, sekarang hanya bisa untuk mencuci pakaian, itu pun harus dibilas lagi dengan air PDAM agar tidak gatal.
“Sebelum ada perusahaan sumur itu dulu jernih sekali. Apalagi kalau musim hujan, diendapkan sebentar bisa langsung dimasak. Sejak tahun 2020 sampai sekarang nggak bisa. Dipakai cuci piring juga keruh sekali kan lihat sendiri kan kondisinya tadi. Mungkin karena limbah PLTU jadi berdampak karena sebelum adanya perusahaan airnya jernih sekali,” katanya saat ditemui (05/04/2023).
Belum lagi limbah cair dari sisa proses pembakaran batu bara yang mencemari perairan pesisir Teluk Kadere. Ketua RT 15 Zainal mengatakan pabrik PLTU selalu membuang air panas dengan busa kecokelatan ke perairan sekitar yang menyebabkan aktivitas budidaya rumput laut warga sekitar rusak. Hasil tangkapan laut warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan juga menurun drastis.
“Dulunya, sebelum ada PLTU warga di sini (Loktunggul) sebagian besar bertani rumput laut, cuma sekarang sudah mati semua, karena pembuangan limbah cair PLTU di sekitar sini. Jadi sudah tidak bisa kalau mau tanam rumput laut dekat sini, harus agak ke tengah laut,” jelas Zainal Abidin saat ditemui awak media di rumahnya (02/04/2023).
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim pernah melakukan peninjauan terhadap kehidupan warga Loktunggul, pasca beroperasinya PLTU berkapasitas 2×100 MW tersebut. Teresia Jari, Divisi Riset dan Produksi Pengetahuan JATAM Kaltim menyebut, banyak warga yang mengakui mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Bahkan ada keluarga yang tinggal tidak jauh dari area pembuangan limbah PLTU menderita penyakit kelenjar getah bening.
Tak hanya itu, mata pencaharian tambahan para ibu rumah tangga yang biasanya bisa mencari kerang saat air laut surut, sudah tidak bisa dilakukan lagi. Mengingat limbah air panas yang dibuang PLTU membuat kerang punah. Termasuk budidaya rumput laut yang rusak.
“JATAM sudah dua kali berkunjung ke Teluk Kadere, dari pengamatan lapangan jelas udara sekitar buruk. Begitu juga laporan dan cerita-cerita warga. Secara kasat mata bisa terlihat seberapa banyak debu batu bara, kami saat ngobrol saja diletakkan kertas putih kemudian dalam beberapa saat sudah ada bercak-bercak hitam debu batu bara. Begitu juga dengan lautnya, meski mereka tidak secara langsung menggunakan air laut, tapi laut merupakan ruang hidup bagi masyarakat Teluk Kadere, mereka menggantungkan hidup sebagian sebesar dari laut. Jelas terlihat warga kehilangan mata pencaharian dari rumput laut. Itu perubahan dari sebelum ada industri dan setelahnya,” papar Teresia saat dihubungi, Jumat (11/08/2023).
ISPA PENYAKIT TERTINGGI KEDUA
Menukil data penyakit di Puskesmas Bontang Lestari, tim KJI mendapati ISPA cukup mendominasi. Kepala UPT Puskesmas Bontang Lestari, drg. Faradina saat ditemui, Senin (07/08/2023) menjelaskan ISPA masuk pada 10 besar penyakit yang diderita masyarakat sekitar.
Terinci, ada sekira 235 penderita ISPA pada rentang waktu Januari–Mei 2022. Berada di peringkat 2 setelah hipertensi sebanyak 264 penderita.
“2019 dan 2020 tidak masuk. ISPA baru masuk 10 besar pada 2021 dan 2022. Jadi, sebelum 2021, ISPA tidak masuk 10 besar penyakit yang paling banyak diderita masyarakat Bontang Lestari,” katanya.
Kenaikan penderita ISPA itu bertepatan dengan mulai beroperasinya PLTU pada Oktober 2019.
Efek paparan debu batu bara tidak seketika nampak. Dokter spesialis paru, dr. Dian Ariani Tarigan menyebut batu bara mengandung zat toxic yang perlahan membuat paru-paru rusak. Apalagi saat debu batu bara terhirup secara berlebihan.
“Efek debu batu bara itu sifatnya kronik, bisa bertahun-tahun. Serbuknya apabila masuk ke paru-paru sulit untuk keluar, maka akan terjadi infeksi karena kelemahan sistem pertahanan tubuh. Artinya kuman yang masuk tidak bisa keluar dan terus terusan akhirnya bersarang. Kalau ada ISPA, ISPA-nya makin parah, kalau ada asma, asmanya makin parah,” jelasnya saat diwawancara, Kamis (10/08/2023).
Gejala awal yang timbul akibat menghirup debu batu bara, di antaranya kerongkongan terasa tidak enak, batuk, nyeri dada, sesak nafas, kekurangan oksigen.
“Bukan seketika, ya, tapi lama kelamaan. Oksigen yang harusnya bisa masuk ke tubuh 100 persen jadi hanya 60 persen, bahkan dampak terburuknya bisa terkena kanker paru, ” katanya.
BANTAH TUDINGAN WARGA
Selasa 15 Agustus 2023, PT Graha Power Kaltim (GPK) memberikan jawaban melalui pernyataan tertulis yang dikirimkan oleh staf Humas GPK ke tim KJI. Namun, staf tersebut tidak bersedia nama dan jabatannya dimuat dalam tulisan.
Dalam pernyataan tertulis tersebut, PT Graha Power Kaltim (GPK) menanggapi berbagai tudingan warga. Melalui pernyataan tertulis, pada Selasa (15/08/2023), GPK menjawab keluhan warga.
Soal dugaan hilangnya peta permukiman Loktunggul dalam dokumen ANDAL milik PT GPK, Mereka menyebut bahwa penyusunan peta disesuaikan dengan peta Rupa Bumi Indonesia dan juga peta citra yang di delineasi sesuai dengan kondisi pemukiman eksisting di lapangan.
Sementara keluhan mengenai dampak polusi udara dan pencemaran air akibat aktivitas PLTU, PT GPK menyebut pelaksanaan pengelolaan lingkungan telah dilakukan secara maksimal.
“Pemantauan terkait uji air dan udara juga rutin dilakukan dan hasilnya berada di bawah baku mutu lingkungan. Rutin pengujian untuk limbah 1 bulan sekali, air laut dan kualitas udara 6 bulan sekali,” jawab perusahaan pembangkit listrik tenaga uap tersebut.
PT GPK juga menyebut banyak upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan. Seperti pemasangan alat pengelolaan limbah (Ipal) maupun cerobong (ESP) serta telah membuat sprinkle di kawasan coal yard dan penghijauan di sekitar lokasi PLTU.
Di pernyataan itu pula, PT GPK mengklaim telah mengantongi izin pembuangan limbah ke laut. Bahkan izin itu dimiliki sejak awal pembangkit beroperasi.
Klaim tersebut bertolak belakang dengan catatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim. Pada 2021, PT GPK meraih peringkat merah dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Penilaian itu diberikan lantaran PT GPK pernah mendapatkan sanksi dari DLH Kaltim akibat mengeluarkan limbah cair langsung ke laut yang belum berizin.
Sementara terkait kontribusi perusahaan yang sudah diberikan kepada Masyarakat, dalam keterangan persnya GPK merinci telah membantu suplai air bersih, dan masuknya listrik di RT 12-15. Mereka juga mengaku memberi bantuan sosial berupa sembako, kegiatan umum, pengembangan kawasan, infrastruktur jalan serta fasilitas ibadah. Termasuk pemberdayaan warga sekitar sebagai tenaga kerja di lingkungan PLTU.
TANGGAPAN WALI KOTA
Dalam kesempatan berbeda, Wali Kota Bontang, Basri Rase mengatakan keberadaan PLTU Teluk Kadere sangat berdampak baik bagi perekonomian masyarakat Bontang pada umumnya dan warga sekitar pada khususnya.
“Pasti ada manfaatnya, terutama penyerapan tenaga kerja, walaupun dianggap tidak ada, tapi pasti ada. Terus warung-warung warga mulai hidup,” jelasnya kepada tim KJI pada Selasa (08/08/2023).
Sementara terkait keluhan warga tentang pencemaran lingkungan, Basri memastikan jika ada laporan yang masuk pasti akan ditindaklanjuti. Meski begitu menurut Basri selama ini DLH Bontang telah menyusun laporan per triwulan.
“Yang menilai harus orang yang ahli, DLH misalnya. Kan mereka itu punya laporan per triwulan terkait polusi, emisi dan segala macam. Enggak bisa hanya mendengar dari satu orang. Saya kira syarat diawal juga sudah sangat ketat,” kata Basri Rase.
Lebih detail, ditanya soal dugaan GPK menghilangkan permukiman warga dalam peta ANDAL, Basri mengaku tidak tahu menahu. “Oh itu tanya ke DLH, saya tidak tahu persis,” jawabnya.
Rabu, 9 Agustus 2023 tim KJI menyambangi kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bontang. Tim KJI diterima oleh staf di bidang perencanaan lingkungan dan keanekaragaman hayati. Melalui dirinya kami memperoleh informasi jika kepala bidang tidak bersedia untuk dimintai keterangan dan mengarahkan kami untuk menghubungi Kepala DLH Kota Bontang, Heru Triatmojo.
“Tapi, Bapak (Heru) tidak ada, sedang rapat di luar,” ujarnya.
Di hari yang sama hingga tiga hari setelahnya, tim KJI mencoba menghubungi Heru melalui sambungan telepon, namun meski dihubungi berkali-kali Heru tidak memberikan respons. Pun daftar pertanyaan yang telah kami kirimkan lewat WhatsApp pribadinya tidak mendapatkan balasan.
Senin, 14 Agustus 2023 tim KJI kembali mendatangi kantor DLH, namun tetap tidak menemukan keberadaan Heru di sana. Hingga berita ini terbit, Heru Triatmojo belum dapat menjawab pertanyaan tim KJI.
PENYUSUNAN AMDAL HARUS LIBATKAN WARGA
Agustina Wati, Dosen Hukum Administrasi Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (UNMUL) Samarinda menilai keberadaan industri di tengah masyarakat hendaknya tidak mengesampingkan hak warga untuk bisa mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan baik.
“Warga Kota Bontang terutama warga yang bermukim di sekitar PLTU berhak mendapatkan haknya, untuk tidak menjadi korban pencemaran udara dan air laut yang diakibatkan dari polusi udara. Di mana debu batu bara dan bahkan air laut di sekitar pemukiman juga tercemar, karena masyarakat tergantung pada kondisi air laut yang baik dan tidak tercemar,” jelasnya, Jumat (11/08/2023).
“Tercemarnya air laut ini juga akan mematikan biota-biota laut dan dapat mengakibatkan turunnya populasi ikan. Bahkan bukan hanya di wilayah tersebut tetapi juga dapat meluas ke wilayah lain.PLTU sebaiknya tidak dibangun berdekatan dengan masyarakat agar dapat meminimalisasi beberapa kemungkinan seperti yang saat ini terjadi di Kota Bontang. Konsep hak itu termuat dalam UUD 45 pasal 28 H ayat (1).”
Terkait pencemaran lingkungan, dijelaskan dalam Pasal 20 UU 32/2009 Cipta Kerja, Baku Mutu Lingkungan Hidup, bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Beleid itu berbunyi setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: memenuhi baku mutu lingkungan hidup dan mendapat persetujuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
“Pasal 61A dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan pembuangan air limbah ke laut dan membuang emisi ke udara, yang merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau UKL-UPL,” ujarnya.
“Sehingga juga perlu diperhatikan bagaimana kemudian perizinan yang dikeluarkan saat PLTU ini akan dibangun yang berkaitan dengan Amdal. Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan mengikutsertakan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU 32/2009 ttg PPLH dan UU 11/2020 ttg Cipta Kerja. Penyusunan Dokumen AMDAL dilakukan dengan mengikutsertakan Masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
Agustina menyarankan masyarakat bisa melakukan upaya hukum sebagai korban pencemaran lingkungan. Merujuk UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), warga bisa melakukan pengawasan sosial, memberikan saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan penyampaian informasi atau laporan.
“Berdasarkan pasal tersebut bahwa masyarakat dapat mengadukan permasalahan pencemaran lingkungan kepada instansi terkait dan dalam masalah ini mengajukan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Bontang, sehingga akan kemudian diidentifikasi pelanggaran apa saja yg dilakukan dan kerugian apa saja yang diderita oleh Masyarakat sekitar PLTU, dan bahkan kerugian lingkungan apa saja kemudian yang terjadi akibat pencemaran air laut dan udara.”
Dikatakan Agustina, Pemerintah Kota Bontang dapat melakukan upaya hukum administrasi lingkungan, jika menerima laporan warga. Nantinya diidentifikasi apakah terjadi pelanggaran.
“Bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a yaitu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya Kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya orang dikenakan sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau Tindakan lain yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam Pasal 82B UU Cipta Kerja, dan bentuk sanksi Administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 82C yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha, dan/atau pencabutan perizinan berusaha. Termasuk gugatan melalui hukum perdata lingkungan” papar dosen UNMUL tersebut. (*)
Catatan : Artikel ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Bontang. Diantaranya Kitamudamedia.com, Bontangpost.id, Aksarakaltim.id, Inpenden.id.